Oleh : Aria D.N. Atmadja, SH., CPL., CLi., CTLC
Pada tanggal 30 Maret 2021, Presiden Jokowi telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (PP 56/2021) dimana tujuan dari dibentuknya peraturan ini secara garis besarnya adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait hak ekonomis atas lagu dan/atau musik serta untuk mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti hak cipta atas pemanfaatan ciptaan dan produk hak terkait di bidang lagu dan/atau musik. PP 56/2021 ini berlaku sejak diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 31 Maret 2021.
PP 56/2021 ini seakan menjadi jawaban pemerintah terhadap lemahnya kepastian hukum atas pembayaran royalti musik/lagu, baik terhadap artis/pencipta lagu maupun pengusaha. Dari sisi artis, sudah bukan rahasia lagi bahwa tidak semua artis/pencipta lagu mendapatkan royalti yang seharusnya, seperti dihadapi oleh Vokalis Elkasih Band yang diberitakan tidak kunjung mendapatkan royalti dari label musiknya dahulu. Namun demikian, pengusaha pun menghadapi masalah yang sama, misalnya terjadi tagihan ganda atas royalti dari Lembaga Manajemen Kolektif (“LMK”) yang mengaku-aku mendapatkan kuasa dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (“LMKN”) sehingga pengusaha harus membayar royalti tersebut dua kali, satu dari LMK, satu lagi dari LMKN.
Royalti hak cipta lagu atau musik
Pada prinsipnya, royalti merupakan imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait. Untuk menjamin perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak royalti dari pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait atas lagu dan/atau musik, dibutuhkan adanya mekanisme pengelolaan royalti yang transparan, berkualitas, dan tepat sasaran serta melalui sarana teknologi informasi.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, PP 56/2021 telah mengatur bahwa setiap layanan publik yang bersifat komersial dapat memperdengarkan lagu dan/atau musik dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui LMKN. Bentuk-bentuk layanan publik yang bersifat komersial adalah sebagai berikut:
- Seminar dan konferensi komersial;
- Restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek;
- Konser musik;
- Pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut;
- Pameran dan bazaar;
- Bioskop;
- Nada tunggu telepon;
- Bank dan kantor;
- Pertokoan;
- Pusat rekreasi;
- Lembaga penyiaran televisi;
- Lembaga penyiaran radio;
- Hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan
- Usaha karaoke.
Adapun besaran tarif royalti yang ditetapkan memang belum diatur di dalam PP 56/2021 tersebut sehingga rujukannya tetap melihat kepada Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kepmenkumham) Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016.
Pembentukan Pusat Data Lagu dan Musik sebagai dasar penerimaan royalti
Salah satu hal menonjol dari PP 56/2021 ini adalah pembentukan Sistem Informasi Lagu dan/atau Musik yang dilakukan oleh Menteri melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (“SILM”). SILM merupakan pengkalan data yang bersifat publik dan dapat diakses siapa saja untuk mengetahui siapa pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait atas lagu dan/atau musik tersebut. Dengan adanya sistem yang demikian, maka diharapkan pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait atas lagu dan/atau musik lebih mendapatkan kepastian hukum dari sebelumnya dalam menerima royalti dari pihak-pihak yang memperdengarkan lagu dan/atau musiknya secara komersial.
Penarikan royalti
Hal lain yang menjadi terobosan adalah dibentuknya LMKN sebagai lembaga manajemen kolektif pemerintah non-apbn yang bertugas untuk menarik royalti dari pengusaha. Sebelumnya, pada Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”), penarikan royalti dilakukan oleh LMK yang mendapatkan kuasa dari pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait. Dalam ketentuan yang baru, LMKN menarik royalti untuk kepentingan pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait, baik yang tergabung maupun belum tergabung dalam LMK dengan merujuk kepada SILM. Hal ini diharapkan akan menjadi solusi atas keresahan pengusaha yang kerap menjumpai adanya tagihan ganda atas pembayaran royalti, baik yang dilakukan oleh LMKN dan LMK karena sekarang hanya LMKN yang diberikan mandat demikian.
Sekalipun telah memberikan aturan yang lebih pasti sejak berlakunya UU HC, PP 56/2021 menurut hemat penulis masih memiliki kekurangan. Salah satunya adalah PP 56/2021 tersebut belum menyentuh platform digital yang juga menggunakan lagu dan/atau musik untuk kepentingan komersial seperti Spotify, Joox dan lain sebagainya. Padahal, keuntungan yang diperoleh dari platform demikian sangatlah besar dan hal ini semestinya juga menjadi subyek penarikan royalti. Terlepas demikian, pengaturan PP 56/2021 telah menjadi jawaban atas kepastian hukum dari penarikan royalti demi kepentingan pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait. (RED)